mondok lagi, gak di rumah lagi ...

Jumat, 26 Oktober 2012

Catatan Seorang Teman

Tiga minggu yang lalu adalah kepergian abi, sehari setelah kepergian abi.. gue ngecek facebook nya abi kan tuh. Terus gue ngeliat ada kiriman note dari temen abi. Gue kenal temen abi yang ngirim note itu siapa, namanya Ust. Nuim. Penasaran apa isi note itu, langsung aja gue klik judul nya "Ustadz Teladan Itu Meninggalkan Kita" iyaa, itu judulnya. Gue sempet gemetar pas baru baca judulnya. Abiiiii! Gak cuma pas baca judulnya aja, isinya... bikin hati gue gemeter juga. Ternyata abi dikenang sebagai orang yang baik. Alhamdulillah, Subhanallah, gue gak heran sih. Emang abi the best !
Inilah cara temen abi ngenang abi, dengan tulisan ini.. Subhanallah :')

Ustadz Teladan Itu Meninggalkan Kita


Entah apa yang harus dikata. Aku hanya mengirim doa dan sms kepada istrinya bahwa ustadz teladan dan hamba Allah yang sholeh ini telah dipanggil ke sisiNya. Ustadz Maryadi sahabat akrabku itu telah meninggalkan kita semua, khususnya keluarga besar Pesantren Husnayain, Jumat, 5 September 2012 siang tadi. Allahumagfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu wajalil jannata maswahu. Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, jagalah dia dan ampunilah dia, dan jadikanlah al Jannah sebagai tempat kediamannya.

Ustadz Maryadi Mamat Kewang begitu nama lengkapnya. Ia lahir 10 Maret 1962. Asli Betawi dan mempunyai garis keturunan kiyai dari orang tuanya. Bagiku ia adalah salah satu teladan terbaik guru di masa kini. Lebih dari 10 tahun hidupnya ia abdikan untuk mendidik santri-santri nun jauh di sana, di Sukabumi. Di sebuah lereng pegunungan Salak yang dikelilingi kebun teh.

Perjalanan ke pesantren Sukabumi itu, bila lancar membutuhkan waktu minimal tiga jam. Lebih dari empat bulan aku bersama dia menikmati keindahan perjalanan ke pesantren. Kita biasanya berangkat bakda maghrib atau isya’ menaiki mobil Karimun, pinjaman dari kakak saya. Sampai di pesantren sekitar jam 11 atau 12 malam. Biasanya kita mampir untuk makan malam atau sekedar minum-minuman hangat di sekitar Masjid Al Azhim dekat Lido.

Karena saya belum lancar nyopir, ia yang selalu mengemudikan mobilnya. Hingga pernah suatu saat, karena saya kepingin sekali-kali bawa, saya belajar mobil di pesantren dengannya, tapi apa yang terjadi? Karena saya dan dia gugup, mobil Karimun itu terguling, terseret beberapa meter , bodinya rusak dan kaca depan retak. Ustadz Maryadi yang berada di samping saya terlempar di depan setir yang saya pegang. “Untung Im kamu nggak nge-gas terus, bisa-bisa kita terjatuh keluar pagar dan nggak tahu nasib kita,”ujarnya sesaat setelah kecelakaan itu. Memang dari tempat saya belajar mobil itu, dengan jalan, tingginya sekitar empat meter. Alhamdulillah, sahutku, yang saat itu cuma kena luka di tangan.

Mobil Karimun itu Ramadhan lalu telah diperbaiki dan sayangnya Ustadz Maryadi belum melihatnya sampai ia pergi keharibaan-Nya.
Ustadz Maryadi adalah kepercayaan Kiyai Cholil Ridwan, Ketua MUI, pendiri Pesantren Husnayain. Ia adalah termasuk ‘orang awal’ yang dipercaya untuk memegang pesantren itu. Lebih dari sepuluh tahun ia memegang kendali penuh pesantren itu, khususnya sebagai Direktur TMI. Mungkin karena ia lulusan Gontor, bahasa Arabnya bagus sekali. Maka hal-hal yang berkenaan dengan bahasa Arab, dialah penanggungjawabnya. Termasuk dalam percakapan sehari-hari, imla’, nahwu, sharf dan lain-lain.

Beberapa kali bila ia mengajar aku mengikutinya untuk mendengarkannya. Aku suka mendengarkan dia ketika menjelaskan kitab berbahasa Arab dan menerangkan makna kata per katanya. Seringkali bila ia mengajar membawa kamus ‘Al Munjid’ atau lainnya. Bila mengajar, ia tidak pernah kehilangan semangat. Mengajar, seperti sudah menjadi roh dalam tubuhnya.
Mungkin karena otaknya selalu berfikir, tubuhnya kurus kalau tidak dikatakan kerempeng. Tapi ia jarang lelah mengajar, meski harus di depan kelas dari jam 7.30 pagi sampai jam 15.00.

Selama empat bulan itu, aku dan dia tiga hari di pesantren. Dari Senin sampai Rabu. Bila telah selesai mengajar jam 3 sore, kita bercakap-cakap mulai masalah keluarga, masalah pesantren atau masalah-masalah ringan lainnya. Ia juga kadang cerita tentang masa lalunya di Gontor.
“Yang aku sedihkan –katanya suatu ketika kepadaku- kenapa anakku yang SMA itu, tidak aku pesantrenkan saja. Padahal dia tidak nolak kalau aku masukkan pesantren.” Nggak apa-apa ustadz, asal pergaulannya terjaga. Karena khawatir terjadi sesuatu, anak laki-lakinya yang sekolah di SMAN I Sukabumi  itu, di kos kan di pesantren. Beberapa kali aku diajak untuk menjenguknya.

Ia juga kadang-kadang sedih belum bisa memberikan rumah yang layak untuk anak istrinya. Bila dulu ia tinggal di pesantren Husnayain, Kabandungan Sukabumi dengan keluarganya kini ia tinggal di gang depan Pasar Induk Kramat Jati. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana dikelilingi para penjual bawang. Alasannya pindah ke Jakarta, karena ia ingin menemani anak-anak perempuannya yang kini masih kuliah di Jakarta. Ia sangat perhatian pendidikan dan lingkungan anak-anaknya, sebagaimana ia perhatian kepada murid-muridnya.

Hingga sekitar dua tahun lalu ia akhirnya mengambil S2 di UIKA Bogor. Meski usianya sudah 50-an, ia sangat semangat dalam belajar. Saat itu ia mendapat beasiswa dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Baznas untuk mengambil jurusan ekonomi Islam. Meski ia merasa tidak ringan dalam perkuliahan itu, tapi ia mengaku sangat menikmatinya. “Kalau kita belajar lagi, terasa ilmu kita sedikit ya,”ujarnya kepadaku.

Ia telah menyelesaikan kuliahnya. Hanya tesis master belum sempat ia selesaikan. Beberapa kali ia mengajukan judul ditolak. Hingga suatu ketika ia menanyakan dan meminjam tesisku tentang Sayid Qutb ketika aku kuliah di UI. Saking semangatnya membaca Sayid Qutb itu, ia kemudian meminjam hampir semua buku-buku dan kitab Sayid Qutb yang aku miliki. “Bagaimana kalau aku buat judul Pemikiran Sayid Qutb tentang Zakat atau Keadilan Sosial?” Bagus ustadz, jawabku. Karena Sayid Qutb telah menulis buku ‘Al adalah al ijtimaiyah fil Islam’, Keadilan Sosial dalam Islam. Dan buku itu menjadi bacaan para aktivis dakwah di Mesir saat itu. Bahkan Syekh Yusuf Qaradhawi pun mengaku mengagumi buku itu sewaktu mudanya. Tapi sayang, judul itu ditolak dosen pembimbingnya karena dianggap Sayid Qutb tidak terkenal sebagai ulama yang ahli dalam ‘perzakatan’. Sampai ia sakit dan kemudian meninggal dunia, ia masih mencari-cari judul apa yang pas untuk tesisnya.

Sebelum sakit beberapa bulan ini, aku lihat ia sangat aktif mengajar. “Aku mau isi pengajian tafsir tentang masalah-masalah wanita untuk di pesantren putri,”terangnya kepadaku suatu ketika. Ia pun melaksanakan niyatnya itu dengan semangat mengajari tafsir untuk ‘santri banat’ itu seminggu sekali. Begitupun santri  putra ia ajar juga pengajiannya seminggu sekali. Kadang-kadang hujan gerimispun tidak ia hiraukan, meski ia  harus berjalan kaki  sekitar 400 meter dari pesantren putri  ke pesantren putra.

Selain telah berjasa mendidik ratusan santri yang kini sudah alumni, ia juga berandil besar dalam membesarkan perpustakaan Pesantren Husnayain. Ia yang mengurus administrasi dan juga membeli buku-buku untuk perpustakaan dari sumbangan CSR Perusahaan Indonesia Power yang letaknya tidak jauh dari Pesantren.

Hubungannya dengan masyarakat sekitar juga cukup bagus. Sebelum terkena sakit ‘Leukimia’ ia aktif mengisi pengajian baik di Jakarta maupun di sekitar Kabandungan Sukabumi.

Lelaki yang ikhlas dan ‘zuhud’ ini meninggalkan kenangan yang manisnya tak terhingga kepadaku. Hingga pada suatu saat ia cerita lagi mengambil sepuluh kalender Pesantren untuk dijual. Ia mengaku kepadaku belum laku, karena belum sempat menjualnya. Aku katakan kepadanya, kalau nggak sempat jual balikin saja ustadz. “Biarlah, saya yang membayarnya. Saya sudah ngambil kok nggak enak,”terangnya. Begitu halus jiwanya, ia tidak mau merugikan pesantren sepeserpun. Bahkan ia ingin menyumbangkan apa yang ia punya ke pesantren. Padahal aku tahu kehidupannya ‘pas-pas’ an.

Nggak banyak lelaki yang begitu baik yang aku kenal, seperti dia itu. Sederhana, tawadhu’, pintar dan ikhlas dalam berjuang. Mendidik dan berdakwah menjadi jalan hidupnya.

19 September lalu, aku mengirim pesan ke face booknya: “Gimana kabarnya ustadz? Afwan belum sempat nengok lagi nih. Tapi ada Hadits Rasulullah saw yang menarik bahwa 'Bila Allah mencintai hambaNya, maka Dia akan mengujinya'. Saya yakin bahwa antum termasuk hamba-hamba yang dicintai Allah, karena meluangkan banyak waktu untuk mengajar kebaikan para santri (murid-murid). Dan Insya Allah, Allah SWT segera menyembuhkan. Bagi seorang Muslim, kondisi apapun adalah yang terbaik bagi dirinya dan ada hikmah yang besar dibalik semua kejadian yang menimpa diri kita. Insya Allah.”
Kondisi terbaiknya kini adalah menghadap ke Ilahi Rabbi. Suatu ketika kita pun akan menyusulnya. Dan aku menulis kesan ini ketika aku lagi menjenguk dua putriku yang sedang nyantri di Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan. Dan aku yakin sahabat dekatku itu ‘Husnul Khotimah’.*
Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, 5 Oktober 2012. Dari sahabat yang sangat terkesan dengan jejak langkahmu, Nuim.



2 komentar:

  1. beruntunglah memiliki Abii sebaik beliau...semoga Dia diterima disisi-NYA...aamiin

    BalasHapus
  2. Allahumagfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu wajalil jannata maswahu.

    BalasHapus